Thursday, October 21, 2010

Amandemen Konstitusi Jilid Lima

Tidak seperti tahun-tahun pertama reformasi, saat ini boleh dikatakan amandemen konstitusi tampaknya belum menjadi kehendak sejarah. Artinya, belum semua komponen bangsa memokuskan perhatian dan energi untuk menggesa dilakukannya perubahan atau amandemen kelima terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Padahal UUD 1945 hasil amandemen empat kali sejak kurun waktu 1999 hingga 2002 dalam perjalanannya mengalami beberapa kelemahan khususnya ketika berhadapan dengan realitas politik ketatanegaraan. Beberapa waktu lalu, Forum Rektor Indonesia (FRI) misalnya menilai hasil amendemen UUD 1945 masih mengandung berbagai kelemahan konseptual dan sistemik. Jika tidak segera disikapi secara bijaksana, kelemahan konseptual dan sistemik tersebut bisa mengakibatkan kondisi buruk.

Kelemahan konseptual dan sistemik tersebut meliputi dua aspek, yakni aspek proses dan aspek substansi perubahan. Dari aspek proses, MPR kala itu hanya menekankan perubahan konstitusi pada metode adendum, dengan mengadopsi kerangka yang sudah ada dalam UUD 1945. Metode tersebut membuat perubahan konstitusi terkesan parsial, sepotong-sepotong sehingga bersifat tambal sulam. Bahkan beberapa kalangan menilai bahwa penyebutan perubahan atau amandemen tidak sepenuhnya benar. Sebab, MPR tidak lagi sekedar mengubah tetapi sudah mengganti (alternation) mayoritas isi konstitusi. Hal itu ditengarai dari 37 pasal naskah UUD 1945 asli, 31 pasalnya sudah berganti (83,79%).

Belum lagi dari segi partisipasi publik, meski sudah melibatkan kalangan profesi, ornop, perguruan tinggi, termasuk para pakar dan ahli konstitusi perubahan konstitusi waktu itu cenderung bersifat semu. Hal ini karena keterlibatan pihak-pihak tersebut hanya sebatas melegitimasi kerja konstitusional MPR saja.
Dari aspek substansi, perubahan UUD 1945 sebelumnya hanya memasukkan semua alternatif perubahan dalam satu rancangan. Hal itu membuka peluang lebar bagi biasnya paradigma perubahan. Selain itu, detail konstruksi nilai dan bangunan ketatanegaraan yang hendak dibentuk dan dianut dengan perubahan tersebut juga belum terintegrasi dengan mekanisme yang disepakati tim perumus perubahan konstitusi.

Patut pula dicatat, beberapa ketentuan hasil perubahan khususnya perubahan mengenai konsep kedaulatan rakyat juga mengalami inkonsistensi pengaturan. Kerancuan dimaksud misalnya dalam hal pelaksanaan kedaulatan rakyat menurut undang-undang dasar yang salah satu muaranya adalah pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A). Namun, di lain pihak, jika Presiden dan atau Wakil Presiden berhalangan tetap secara bersama-sama, pemilihan Presiden dan atau Wakil Presiden penggantinya tidak lagi menjadi daulat rakyat. Kedaulatan rakyat memilih pemimpin negara tersebut berpindah menjadi ranah MPR. Begitu pula dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil Presiden, pihak yang diberi wewenang untuk mengusulkan calon penggantinya adalah Presiden sendiri yang kemudian dipilih oleh MPR. Padahal seharusnya jika kedautan memilih itu benar-benar milik rakyat, maka idealnya dikembalikan lagi kepada rakyat bukan kepada MPR.

Kenapa Konstitusi Perlu Diubah?

Begawan ilmu hukum konstitusi KC Wheare pernah mengatakan konstitusi adalah resultante atau produk kesepakatan politik sesuai dengan situasi dan tuntutan politik, ekonomi, sosial, dan budaya (poleksosbud) yang ada. Artinya, konstitusi bisa pula diubah sesuai dengan resultante baru jika perkembangan pemikiran dan situasi poleksosbud sudah berubah dan menuntut perubahan. Senada dengan KC Wheare, McWhinney mengisyaratkan bahwa setiap sistem konstitusi harus selalu memiliki satu sifat inheren untuk selalu berubah. (Edward McWhinney: 1981). Dengan logika konstitusi sebagai resultante atau produk kesepakatan politik sesuai dengan situasi terkini maka sebuah konstitusi perlu diubah jika konstitusi yang masih berlaku dianggap belum sinergis dengan kebutuhan-kebutuhan kekinian.

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, maka paling tidak ada dua alasan kenapa konstitusi kita perlu diubah. Pertama, perubahan konstitusi mendesak dilakukan dalam rangka memperbaiki pelbagai kekeliruan dan kelemahan yang terkandung dalam konstitusi sebelumnya baik dari segi proses maupun segi substansi pengaturan.

Kedua, dinamika ketatanegaraan selalu bergerak dan mesti diikuti pula dengan perbaikan konstitusi sehingga dapat simetris dengan cita-cita bangsa yang sebelumnya sudah disepakati oleh Bapak pendiri bangsa (the founding fathers).

Jalan Terjal Amandemen

Ganjalan terberat mengamandemen UUD 1945 bisa terbaca ketika usulan perubahan tersebut dihadapkan pada realitas bahwa MPR merupakan pemegang otoritas tunggal untuk mengubah Undang-Undang Dasar [Pasal 3 ayat (1) UUD 1945]. Pertanyaannya, mungkinkah usulan perubahan tersebut dikabulkan? Pesimisme bisa lahir dikarenakan bahwa sebagian besar anggota MPR adalah anggota parpol, sehingga sulit membayangkan akan terjadinya skenario adanya parpol yang secara sukarela ingin mengebiri hak konstitusional dirinya sendiri.

Terlepas dari pesimisme tersebut, usulan demi usulan untuk mengamandemen konstitusi tetap bergulir. Misalnya pada tahun 2007, melalui proses lobi yang dilakukan oleh kelompok DPD di MPR terhadap beberapa fraksi di DPR, tercatat beberapa fraksi setuju dengan rencana Amandemen ke-5 UUD 1945 dengan agenda-agenda awal yang sudah dikaji para pakar konstitusi. Fraksi tersebut, antara lain, Fraksi Partai Golkar (terdiri atas Partai Golkar, PKPB, dan PBR), Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi PDI-P (terdiri atas Partai PDI-P dan PDS), dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (terdiri dari PBB, PPDK, Partai Pelopor, PNIM, PPDI).

Pada paruh waktu pertama Mei 2007, jumlah dukungan dari beberapa fraksi tersebut jika ditambah dengan jumlah anggota DPD berjumlah total 238. Namun, dari hari ke hari jumlah dukungan anggota DPR tersebut mengalami penurunan. Tak berselang lama jumlah dukungan berkurang menjadi 232 orang. Kemudian pada tanggal 30 Juli 2007 jumlah dukungan menyusut lagi menjadi 225 dan puncaknya pada detik-detik terakhir batas waktu penyampaian dukungan tanggal 31 Juli 2007 dengan ditariknya dukungan 9 (sembilan) orang anggota Fraksi Partai Amanat Nasional sehingga dukungan berkurang menjadi 216 anggota. Akibatnya usulan amandemen kandas di tengah jalan.

Meski gagal, upaya mendorong perubahan konstitusi terus dilakukan. DPD misalnya, melalui rapat konsultasi dengan Presiden pada awal tahun 2008 merekomendasikan urgensi amandemen konstitusi (UUD 1945). Namun, tak sedikit pihak yang menentang isu tersebut terutama dari karib DPD sendiri di parlemen, yakni DPR. Beberapa kalangan di DPR menganggap kesepakatan antara Presiden SBY dan DPD untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945 sebagai pengalihan isu atas kegagalan Pemerintah saat itu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Karena tidak mendapat sambutan positif dari DPR akhirnya usulan amandemen kelima UUD 1945 kembali terhenti.

Sekali lagi usaha mengamandemen UUD 1945 gagal terwujud. Namun terlepas dari catatan sejarah kegagalan tersebut, setelah lebih dari delapan tahun konstitusi hasil amandemen diimplementasikan, tampaknya resultante baru untuk mengubahnya kembali perlu didiskusikan dan dipertimbangkan dengan penuh kearifan. Semua komponen bangsa perlu duduk bersama memikirkan nasib konstitusi yang masih memerlukan perubahan demi menjawab dinamika ketatanegaraan masa kini dan masa mendatang.


Oleh: Masnur Marzuki, SH, LLM
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Thursday, February 18, 2010

Tak ada cinta di Februari!

Setiap Desember adalah menunggu. Menunggu detik yang baru karena sebentar lagi akan ada yang berganti. Januari adalah tenaga baru untuk berbuat sesuatu. Sedang di Februari, orang bilang ada segepok cinta yang minta direngkuh. Begitu juga Maret, April, Mei dan seterusnya.
Benang merahnya adalah bahwa hidup selalu berawal dari sebab lalu muncullah akibat. Hanya saja tidak mudah mengurai akar sebab dan akibat itu sendiri, Dilara. Kau mau tahu, kenapa?

Kalau kau mencintaiku, itu sebab atau akibat? Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Kalau aku mencintaimu, itu sebab ataukah akibat? Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Kalau kau menyayangiku, itu juga sebab atau akibat? Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Kalau kau tiba-tiba meninggalkanku, itu sebab atau akibat? Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Kalau tiba-tiba kau dalam posisi membenciku, itu sebab atau akibat? Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Dan juga kalau tiba-tiba kau menyumpahi lalu mengutukku, itu sebab atau akibat? Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.
Begitulah Dilara. Hidup adalah perkara sebab dan akibat. Dan Tuhan-lah yang maha tahu mana sebab mana akibat.

Tercatatlah dalam sebuah hikayat, Dilara; "Jika Tuhan menginginkan sesuatu maka Dia ciptakan sebab.." Begitu sederhana. Jadi kau tak perlu risau hati dengan apa yang terjadi. Hidup ini terlalu indah untuk kau isi dengan gundah gulana.

Terkutuklah aku bila kau masih menyimpan dendam dan perih hati karena adaku.

Kau harus terus melangkah, menjemput impianmu yang belum terwujud. Ada hal yang lebih istimewa untuk kau pungut selain aku.

Setiap sebab adalah akibat dan setiap akibat adalah juga sebab. Alam sudah lama mengajarkan itu pada kita. Konsepnya begitu sederhana. Sesuatu yang terjadi pasti disebabkan oleh sesuatu hal. Sebab mewujud karena ada akibat. Akibat ada karena sebab. Sedangkan jeda di antaranya adalah proses.

Sederhananya begini; jika kita tiba-tiba berpisah itu adalah sebab sekaligus akibat. Dan di antara keduanya terdapat proses di mana terselip cerita pahit dan manis. Semuanya nanti akan terbungkus menjadi kenangan. Suatu hari nanti di masa depan, roda selalu berputar sayang -seperti yang kau tulis diam-diam untuk malaikat penjagamu itu- kau akan tersenyum sendiri mengingatnya.
Karena setiap sebab selalu ada akibat, Dilara. Bersabarlah! Waktu itu akan tiba!

Kau tak perlu merasa bersalah dan larut dalam keputusasaan.

Dilaraku sayang, kau tentu tahu dari mana datangnya rasa bersalah, tapi tahukah kau dari mana datangnya keputusasaan? Rasa bersalah memang datang dari dalam diri dan bisa terpicu dorongan dari dalam maupun luar diri. Tapi keputusasaan punya sejarah yang rumit dan berliku. Meskipun secara sederhana keputusasaan bisa dipahami dengan suatu keadaan lenyapnya pengharapan akan terjadinya sesuatu yang didambakan.

Kau dulu pernah kehilangan pengharapan akan terjadinya sesuatu yang sudah kau impikan, yang sudah kau pikirkan akan kau peroleh, tetapi akhirnya kau tidak bisa menikmati. Lalu lenyaplah pengharapan. Itulah yang menimbulkan keputusasaan.

Kata kuncinya adalah pengharapan, sayang. Selama masih ada pengharapan, tidak seharusnya ada keputusasaan. Sayangnya pengharapanmu telah hilang bahwa suatu hari nanti Tuhan akan mempertemukan kita dalam satu biduk yang sama.
Padahal sekali lagi aku beritahu bahwa keputusasaan adalah rasa kehilangan akan pengharapan. Saat pengharapan lenyap, maka apa yang kau dambakan tidak bisa menjadi kenyataan.

Kau terlalu cepat bergerak menuju terminal akhir keputusasaan, sayang. terlalu cepat berkesimpulan. Sehingga kau dihukum oleh kesimpulanmu sendiri. Dan kau pun berputusasa. Padahal menurutku keputusasaan itu sendiri memiliki beberapa jenjang. Jenjang keputusasaan terendah sebetulnya adalah ketika kau memasuki proses kehilangan. Proses kehilangan itu kemudian melahirkan reaksi kesedihan. Lalu reaksi kesedihan mewujud dalam perasaan akan segera hilangnya sesuatu atau seseorang yang sangat bermakna bagimu.

Jenjang keputusasaan tertinggi adalah ketika kau berpangku tangan, menghiba pada nasib dan takdir lalu tak berbuat apa-apa.

Kau malah menyeret jiwa dan ragamu melompati jenjang terendah lalu memaksakan dirimu terhenti pada jenjang keputusasaan tertinggi.

Benar-benar tak ada lagi pengharapan, sayang. Kau hanya bersahabat dengan rasa apatis dan rasa untuk tidak peduli lagi. Padahal selama hembusan nafas belum berhenti, sebaiknya kau harus terus berkayuh untuk meraih asa dalam keputusasaan. Biarkan nuranimu memandu setiap langkahmu. Semoga dia tetap menyemangatimu dan memberi tenaga bagi kayuh sampanmu menuju pengharapan. Lalu, kau bergerak menujuku. Ke sini!

Pernah di suatu masa engkau berkata padaku; "Semua hanya tinggal menunggu waktu, sayang. Dan ketika waktu itu telah tiba, maka kita pun segera berpisah..".

Singkat dan padat benar kata-katamu itu Dilara. Ya, kini engkau benar-benar merasa bahwa waktumu itu telah datang hingga kau berkemas dan berlalu pergi.

Dari kejauhan aku hanya bisa menatapmu dan menghela nafas panjang. Sesaat lamanya kau melangkah, aku mohon jangan lagi menoleh ke belakang sebab aku tidak akan lagi berdiri di situ. Aku harus memilih menyembunyikan kesedihanku darimu. Berpantang bagiku menangis di hadapan wanita agung sepertimu, Dilara.

Pernah di suatu masa engkau berkata padaku; "Semua hanya tinggal menunggu waktu, sayang. Dan ketika waktu itu telah tiba, maka kita pun segera berpisah..". Padahal, beberapa hari sebelum kepergianmu atau berapa jam lagi kau akan beranjak pergi aku tak pernah tahu. Tapi apa pun itu, perjalanan dan kepergianmu sungguh penuh makna. Kepergianmu tidak hanya selembar kisah, tapi juga segubah lagu yang mengingatkan aku atau mereka yang lupa betapa bermaknanya hadirmu, Dilara.

Tawamu, nafasmu, tangismu, gerakmu telah lekat dalam jiwa. Dari kejauhan aku hanya bisa menunduk pasrah. Dulu kau pernah datang. Dulu juga kau pernah pergi. Aku tak bisa berbuat apa-apa, Dilara. Yang aku bisa hanya mencintaimu dengan datang dan pergimu itu.

Pernah di suatu masa engkau berkata padaku; "Semua hanya tinggal menunggu waktu, sayang. Dan ketika waktu itu telah tiba, maka kita pun segera berpisah..". Tapi menurutku kau salah, Dilara. Waktu tak perlu ditunggu sebab dia akan terus berdetak meski pun tak ditunggu. Justeru waktulah yang menunggumu dan aku. Dia pulalah yang memberi tahusan menunjukimu bahwa segala sesuatu, kecuali Tuhan, memiliki awal dan akhir.

Dari kejauhan aku hanya bisa berdoa, sayang. Semoga di setiap langkahmu menyelinap sejuta makna hidup yang penuh ketulusan dan kedamaian.

Pernah di suatu masa engkau berkata padaku; "Semua hanya tinggal menunggu waktu, sayang. Dan ketika waktu itu telah tiba, maka kita pun segera berpisah..".

Terima kasih telah mengingatkanku; menempaku dengan petuah mengharu biru seperti itu. Aku tak akan pernah menyalahkanmu. Justeru akulah mungkin yang salah membaca maumu. Dalam memahami aku bergerak lambat seperti siput. Padahal mungkin engkau berkehendak aku bisa lari secepat kilat membaca inginmu.

Kini, lagi dan lagi, dari kejauhan aku hanya bisa berucap lirih; Selamat berderap dengan langkahmu yang baru. Songsong duniamu nan indah seperti dulu meskipun tanpa aku.

Setiap Desember adalah menunggu. Menunggu detik yang baru karena sebentar lagi akan ada yang berganti. Januari adalah tenaga baru untuk berbuat sesuatu. Sedang di Februari, orang bilang ada segepok cinta yang minta direngkuh. Tapi sepertinya Februari ini tak ada cinta lagi untukku. Ah, sedihnya aku!

Arqan Kamaruzaman,
Minggu pertama, Januari 2010.

Saturday, January 23, 2010

"Setiap Sebab Adalah Akibat"

etiap Desember adalah menunggu. Menunggu detik yang baru karena sebentar lagi akan ada yang berganti. Januari adalah tenaga baru untuk berbuat sesuatu. Sedang di Februari, orang bilang ada segepok cinta yang minta direngkuh. Begitu juga Maret, April, Mei dan seterusnya.
Benang merahnya adalah bahwa hidup selalu berawal dari sebab lalu muncullah akibat. Hanya saja tidak mudah mengurai akar sebab dan akibat itu sendiri, Dilara. Kau mau tahu, kenapa?

Kalau kau mencintaiku, itu sebab atau akibat?
Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Kalau kau menyayangiku, itu juga sebab atau akibat?
Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Kalau kau tiba-tiba meninggalkanku, itu sebab atau akibat?
Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Kalau tiba-tiba kau dalam posisi membenci aku, itu sebab atau akibat?
Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Dan juga kalau tiba-tiba kau menyumpahi lalu mengutukku, itu sebab atau akibat?
Tak usah dijawab biar remuk redam sendiri pertanyaanku itu.

Begitulah Dilara. Hidup adalah perkara sebab dan akibat. Dan Tuhan-lah yang maha tahu mana sebab mana akibat.

Tercatatlah dalam sebuah hikayat, Dilara; "Jika Tuhan menginginkan sesuatu maka Dia ciptakan sebab.."

Begitulah. Jadi kau tak perlu risau hati dengan apa yang terjadi. Hidup ini terlalu indah untuk kau isi dengan gundah gulana.

Terkutuklah aku bila kau masih menyimpan dendam dan perih hati karena adaku.
Kau harus terus melangkah, menjemput impianmu yang belum terwujud. Ada hal yang lebih istimewa untuk kau pungut selain aku.

Setiap sebab adalah akibat dan setiap akibat adalah juga sebab. Alam sudah lama mengajarkan itu pada kita. Konsepnya begitu sederhana. Sesuatu yang terjadi pasti disebabkan oleh sesuatu hal.
Sebab mewujud karena ada akibat. Akibat ada karena sebab. Sedangkan jeda di antaranya adalah proses.

Sederhananya begini; jika kita tiba-tiba berpisah itu adalah sebab sekaligus akibat. Dan di antara keduanya terdapat proses di mana terselip cerita pahit dan manis. Semuanya nanti akan terbungkus menjadi kenangan. Suatu hari nanti di masa depan, roda selalu berputar sayang -seperti yang kau tulis diam-diam untuk malaikat penjagamu itu- kau akan tersenyum sendiri mengingatnya.

Karena setiap sebab selalu ada akibat, Dilara. Bersabarlah! Waktu itu akan tiba!!!


Arqan Kamaruzzaman.

Hari Kedua Januari 2010