Sunday, October 4, 2009

"bumi bergetar untuk kita.."

Di Padang, Di Jambi, di Bengkulu, di Garut, di Gorontalo, di Papua, bumi bergetar untuk kita... Nara..
Di Padang, Di Jambi, di Bengkulu, di Garut, di Gorontalo, di Papua, bumi bergoyang untuk kita... Nara..
Di Padang, Di Jambi, di Bengkulu, di Garut, di Gorontalo, di Papua, bumi berdansa untuk kita... Nara..

Lalu seketika banyak yang terhenyak menangis dalam duka...
Kita bisa apa untuk mereka, Nara?
Ah..

Kalaupun tidak materi, bisakah sejumput doa kita beri?

"Teruntuk saudara-saudara korban Bencana Gempa Sumatera"
Oktober 2009

Thursday, May 7, 2009

"Sebab itu Aku Menginginkanmu Nara.."

Yang menangis adalah yang berpunya. Yang berpunya adalah yang kehilangan. Yang kehilangan adalah mereka yang ingin.” kata Ki Ageng Suryomentaram, seorang Pangeran Jogja, pada suatu masa saat ia meninggalkan istana. Nah Nara, jika aku adalah yang berpunya maka yang aku punya buatmu hanyalah sebentuk CINTA. Dan itu untuk dulu, kini dan esok. Ya, Cinta dan hanya Cinta.

Kalau ku ingat-ingat lagi kata-kata Ki Ageng itu maka wajar jika aku menangis saat ini. Sebab yang menangis adalah yang berpunya. Dan yang aku punya hanya Cinta. Maka aku, yang berpunya Cinta itu, adalah yang kehilangan. Lalu aku, yang kehilangan Cinta, tak lain karena aku ingin. Aku menginginkan kau, Nara. Dan semua karena Cinta.

Jangan pula kau berucap bahwa bisa apa kau nanti dengan Cintaku itu? Cinta memang tidak akan mengenyangkan laparmu. Cinta juga tidak akan menghapus haus dahagamu. Tapi Cintaku ini berbungkus ketulusan, sayang. Dan dengannya kau akan membuat kenyang lapar jiwamu dan mengikis habis dahaga jiwamu.

Maka wajar 'kan jika aku menangisi kehilanganmu? menangisi setiap jengkal kenangan kita? Sebab aku adalah yang berpunya Cinta dan bisa kapan saja kehilangan Cinta maka sebab itulah aku menginginkanmu Nara!



Arqan Kamaruzzaman, di pangkal Mei.




Copyrights are subjected to Masnur Marzuki

Thursday, April 30, 2009

[Lagi, Soal Nara]

Dilara, kau sedang apa? Jakarta masih beraroma basah setelah hujan turun deras sekali tadi pagi. Badanku pun sepertinya tak cukup asupan tidur hingga muka menjadi pucat pasi. Mungkin lantaran terlambat naik ke dipan semalam. Kemarin malam bersama seorang teman aku pergi menonton pertunjukan Teater Padhang Bulan di Taman Ismail Marzuki. Pementasnya Emha Ainun Nadjib dan kawan-kawan.

Entah kenapa tiba-tiba aku teringat kata-kata Emha dalam pementasan yang amat menyentuh itu:

"Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka baik dan kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya terhadap pihak yang dikasihinya. Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk menemukan kesalahan kekasihnya, apalagi memperkatakannya. Kegagalan kekasihnya selalu dimafhuminya, kesalahan kekasihnya selalu pada akhirnya ia maafkan."

Aku harus mengakui bahwa apa yang dikatakan Emha itu ada benarnya, Dilara. Aku jatuh cinta pada Nara. Tapi aku tidak tahu apakah dia membalas cintaku. Toh kalau pun cintaku ini bertepuk sebelah tangan aku masih bisa mengatakan bahwa aku ini bisa menjadi sang kekasih. Dan aku betul-betul merasakan apa yang dikatakan Emha di atas. Aku selalu berprasangka baik pada Nara. Berpikir bahwa ketidak-sediaan Nara menjawab pintaku waktu itu hanya soal momen dan kesempatan. Toh ia pernah berjanji akan membalas kunjunganku suatu hari nanti. Dan aku kan setia menanti.

Kau pasti belum kenal betul siapa itu Nara 'kan Dilara? Jujur, banyak hal yang membuatku selalu mengingat Nara.

Pintar, puitis, romantis, sungai Naryn, Kyrgystan, Yogyakarta, Indomie, a-mild, clinique happy for men, "cicak didinding"-ya Dee, Pramudya, kaos biru university of melbourne, bantal hati warna biru, hujan, taxi bluebird, Plaza Semanggi, Pengacara, Salak pondoh, Soe Hoek Gie, "enyak...enyaK..enyak...", Friendster, facebook, kodok...(hehe), deasy, "baby, don't you break my heart slow"-nya vonda shepard, "love song" 311, "seperated" usher, "unintended" muse, radio biru blue sky, bandara soekarno-hatta, MC Cafe thamrin, Ramadhan, wanna dance?

Semua yang aku lihat, dengar dan rasa sungguh mengingatkanku padanya.

Tapi ada yang salah dengan diriku saat ini Dilara. Bagiku saat ini hal ikhwal keinginan mencintai Nara adalah sebuah paham dan opini yang sudah terpatri di hati. Dan bodohnya lagi aku justeru tersiksa oleh opiniku tentang hal ikhwal itu dan bukan oleh hal ikhwal itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Descartes dulu sekali Dilara; orang selalu tersiksa oleh opininya tentang hal ikhwal, bukan oleh hal ikhwal itu sendiri.

Ada opini yang beragam muncul di benak-ku dengan apa yang dipikirkan Nara saat pertama kali aku hendak mengatakan bahwa aku jatuh hati padanya. Nara mungkin kecewa kenapa aku sebodoh itu dan tergesa-gesa mengungkapkan perasaan padahal kenal dekat pun belum. Nara mungkin juga bingung akan diapakan perasaanku ini. Dan aku tidak tahu persis mana yang sedang dipikirkan Nara saat ini. Dan aku betul-betul tersiksa oleh opiniku tentang apa yang bakal dan sedang dilakukan Nara terhadap perasaanku itu. Kau bersedia membantuku Dilara?

Kenapa diam Dilara? Kau marah sebab aku mulai mengabaikanmu? Kau kesal karena aku hanya dan selalu mengingat Nara? Nara itu belum pasti menerimaku, sayang. Tak ada yang pasti dalam hidup ini kecuali ketidakpastian itu sendiri, bukan?

Kau pernah bilang padaku bahwa kau akan cemburu jika ada satu saja perempuan yang menaruh hati padaku atau aku yang menaruh hati padanya. Ternyata kau tidak hanya romantis Dilara, tapi juga pencemburu. Dan kini kau sedang cemburu pada Nara padahal kau tak tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi antara aku dan Nara.

Nara itu gadis pendiam, Dilara. Tak banyak kata-kata yang keluar dari mulutnya. Mungkin sikap pendiamnya itu banyak diilhami dari hobinya memanjat tebing. Dulu saat aku di Kyrgystan Nara menunjukkan padaku sekian gunung dan tebing yang sudah dia daki. Katanya seorang pendaki atau pemanjat handal harus menjadikan pendiam itu sebagai guru sekaligus kawan. Sebab, diam itulah yang akan mengajarkan bagaimana cara berpikir cepat, mengambil keputusan serta mengalahkan rasa takut.

"Kalau aku bosan dengan suasana sidang pengadilan, maka panjat tebing adalah pelarian paling mengesankan.." katanya suatu ketika padaku. Aku sempat protes waktu itu. Bagaimana mungkin seorang pengacara seperti Nara bisa mewujud menjadi gadis pendiam? Bukankah banyak omong adalah satu dari sekian keahlian dan ciri dari seorang lawyer?

Kini aku makin larut dalam ingatanku pada Nara. Nara. Nara. Nara dan Nara. Kau pasti pernah mengalami hal yang sama 'kan Dilara? Kau pernah linglung saking kangennya kau padaku. Kau malah menuduhku memakai guna-guna waktu itu. Ya, kau benar sayang. Aku taruh guna-guna itu di setiap sudut telinga, mata, mulut dan hidungmu. Ku taruh di sepasang telingamu agar setiap kabar yang kau dengar adalah kabar tentangku. Ku letakkan di matamu agar setiap laki-laki yang kau jumpai yang terlihat hanya wajahku. Ku taruh di mulutmu agar setiap kata yang sebut adalah namaku. Ku taruh di hidungmu agar setiap aroma yang kau cium adalah aroma tubuhku. Bukankah begitu, sayang..?

Dan tahukah kau Dilara? Itulah yang aku rasakan saat ini tentang Nara. Sepertinya aku juga diguna-guna oleh Nara.. Semoga saja. Alangkah senangnya hatiku.



Arqan Kamaruzzaman

Sunday, March 8, 2009

[Sebutlah Namanya Nara]

Boleh aku minta satu permohonan padamu, sayang. bahwa aku mencintaimu itu iya. Tapi aku butuh seorang perempuan yang mencintaiku sama halnya seperti kau mencintaiku, itu juga iya. Lalu bolehkan aku mencari penggantimu, sayang? Kau tak boleh egois Dilara. Kau boleh punya pasangan, kenapa aku tidak? Kalau kau sudah punya seorang pasangan hidup, seharusnya aku juga begitu 'kan Dilara? Ayo dijawab sayang. Bukankah kau pernah bilang seandainya kau diberikan sepuluh persen saja kemampuan menulis seperti halnya aku, pasti sudah kau jawab semua tanyaku. Lalu sampai kapan sayang? Kau jangan bilang sampai aku harus menyerah menunggu jawabanmu? Kau sebenarnya mau atau malu? Apa kini ada dilema di hatimu, Dilara? Semoga Tuhan menyelamatkan kita dari sesat menjadi makhluk dilema ya sayang.

Love. Arqan Kamaruzzaman

Aku sakit hati padamu Dilara. Tanyaku kemarin belum juga terjawab. Kau tak pernah memberi sinyal apakah aku boleh mencari penggantimu atau tidak. Keegoisanmu itu sepertinya harus dibalas dengan satu keegoisan pula, ternyata. Dan aku harus melanjutkan perjalanan ini lantas berusaha menghapus jejakmu. Kemarin kampus tempat ku mengajar mendapat undangan ke Kyrgysztan demi menghadiri "Regional Constitutional Law Summit" selama dua minggu. Lantas aku dipilih menjadi salah satu delegasi kampus. Perjalanan ini bukan hanya sekedar perjalanan dinas bagiku, tapi juga perjalanan menghindari tekanan demi tekanan dalam hatiku. Sungguh, semua itu karenamu, Dilara. Dan perjalanan penuh pertualangan ini pun dimulai.

Tapi perjalanan ini lebih suka aku sebut perjalanan wisata. Di sela-sela acara, panitia menyiapkan sebuah kejutan bagi para tamu asingnya. Masing-masing delegasi diberi kesempatan tiga hari mengunjungi pelbagi kota di Kyrgysztan. Dan aku kebagian mengunjungi provinsi Jalal-Abad. Aku merasa beruntung sebab dari dulu memang penasaran dengan provinsi yang berkesan Islami tersebut. Oleh panitia, setiap delagasi didampingi seorang pemandu. Dan keberuntunganku lengkap sudah ketika seorang perempuan muda menghampiriku dan memperkenalkan dirinya dengan amat ramah.

Sebutlah namanya Nara. Ia memakai kerudung dan berbahasa Inggris, Kyrgystan serta bahasa Rusia dengan fasih. Di atas perahu nelayan yang menyusuri Sungai Naryn, ia berbisik, "Tak ada jejak Jengis Khan tersisa sedikit pun di sini." Sebagai turis asing aku hanya manggut-manggut saja. Perempuan itu terus melanjutkan kalimatnya. "Komunis pun telah lama mati." Aku maklum saja sebab perempuan seumuran Nara tumbuh sehabis kebesaran Unisoviet. Dan umumnya generasi itu kini memandang komunisme sebagai konstruksi yang wagu. Komunisme bagi gadis seperti Nara sepertinya hanya megah dari konsep tapi rapuh dalam keanggunan ketika diterapkan di lapangan.

Sebutlah namanya Nara, penduduk asli Kyrgystan. Umurnya baru 26 tahun. Di usia yang semuda itu ia telah melewati banyak tikungan sejarah. Ada cerita sejarah kebesaran Unisoviet di dalamnya dan hikayat kerajaan Mongol zaman baheula. Di usianya yang masih muda itu ia sudah menjadi seorang advokat, Dilara. Perempuan belia itu sudah aktif memimpin perjuangan hak-hak perempuan Kyrgystan. Nara, seorang perempuan muda nan rupawan yang mengajarkanku bahwa kematangan berpikir tidak selalu diukur dari jumlah umur.

Sebutlah namanya Nara. Matanya tidak sipit seperti kebanyakan penduduk lokal. Nara seperti campuran China (karena kulitnya yang putih bersih), Eropa (karena hidungnya yang bangir) dan Arab (karena postur tubuhnya yang tinggi). Dari tadi aku terus berdoa semoga perjalanan kami akan memakan waktu lebih lama sehingga aku bisa menikmati keelokan paras perempuan Asia ini.
Sebutlah namanya Nara. Di tahun 2005, pada umurnya yang baru menginjak 23 tahun, ia sudah menjadi tokoh penting pergerakan revolusi yang dikenal dengan Revolusi Tulip. Revolusi Tulip sendiri adalah revolusi tanpa kekerasan yang berhasil menjungkalkan Presiden Askar Akayev dari tampuk kepemimpinan. Dan sejak itu kaum perempuan menjadi salah satu tulang punggung medernisasi dan demokratisasi di Kyrgysztan.

"Namaku kata Baba terinspirasi dari nama sungai ini". Suaranya mantap. Ya, dari tadi kata-kata Nara bergelontoran seperti sungai Naryn yang meliuk sepanjang tak kurang dari 616 Kilometer membelah negeri Kyrgystan. Aku jadi lupa pada keelokan rupamu Dilara saat Nara mendekatkan wajahnya padaku. "Komunisme sudah tidak punya masa depan". Bisiknya lagi. Aku hanya mengangguk sambil memandangi deretan bangunan besar yang hampir semuanya berasal dari peninggalan kebesaran Unisoviet. "Suatu hari nanti Kyrgystan akan jadi Naga di kawasan Asia Tengah". Nara terus bercerita penuh semangat. "Tadinya saya ingin menyebut Kyrygystan akan menjadi Macan Asia tapi gelar itu sudah diambil Indonesia, bukan?." Katanya setengah bertanya. Aku hanya diam. Nara mengambil sesuatu dari tas kecil yang sejak tadi melilit di pinggangnya. Sebuah peta yang agak lusuh. "Coba perhatikan dengan detail peta Kyrgysztan ini. Bentuknya seperti kepala naga, bukan?" Aku mencopot kaca mata hitamku dan mendekatkan kepalaku pada peta itu. "Hm.. benar juga." Kataku setengah takjub. Padahal dalam hati sejujurnya aku perhatikan sekilas peta Kyrgysztan lebih mirip peta Pulau Bali ketimbang kepala naga. Tapi demi menyenangkan hati si tuan rumah aku terpaksa "sedikit" berbohong.

Sebutlah namanya Nara dan gadis itu masih terus melanjutkan ceritanya. Katanya sungai Naryn bisa sangat dingin di malam hari. Bahkan di musim dingin suhunya bisa mencapai minus 40 derajat celsius. "Saya lahir di di Provinsi Jalal-Abad, tapi kemudian pindah ke Bishkek untuk bersekolah." Menurut cerita Nara, iklim dan cuaca di Bishkek lebih baik ketimbang kota kelahirannya. Selain itu alasannya pindah juga karena ingin lebih dekat dengan ibu kota dan pusat peradaban Kyrgysztan.

Sebutlah namanya Nara. Kilau emas menjelang senja makin mengkilapkan paras cantiknya. Tak lama perahu motor yang kami sewa merapat pada sebuah pelabuhan kecil. Dan kami pun segera turun. Nara kemudian mengajakku singgah pada sebuah masjid yang cukup megah. Masjid itu berdiri kokoh menjadi latar kota Jalal-Abad. Aku harus berdecak kagum pada arsitekturnya yang elegan seperti halnya aku berdecak kagum pada rupa gadis muda bernama Nara ini. Di latar belakang masjid terlihat pegunungan yang sedikit diselimuti salju. Mendadak aku menggigil dalam dingin tapi Nara sepertinya biasa-biasa saja.

Kota kecil di Jalal-Abad itu amat tenang. Suasananya berbeda sekali dengan kota-kota besar Eropa yang pernah aku kunjungi. Aku jadi teringat apa yang ditulis Albert Camus suatu hari; "Kota-kota yang ditawarkan Eropa kepada kita terlampau sarat dengan berisik masa lampau." Dalam beberapa hal menurutku Nara juga tak jauh beda dengan Camus. Kedua-duanya sama-sama mengenggani sejarah. Ia harus berontak pada komunisme dan berkaca pada peradaban Amerika yang mengajarkan demokrasi dan Liberalisme.

Sebutlah namanya Nara dan masa lalu sudah lewat. Unisoviet kini tinggal cerita dalam buku-buku sejarah. Nara, begitu pula Camus, sudah membuatku terkesima. Dan setelah ku pikir-pikir, ada sebuah eulogia* yang harus ku sematkan pada masing-masing orang ini. Buat Camus aku harus angkat topi dengan kemashuran lukisan dan pemikirannya. Buat Nara aku harus mengagumi kecerdasan dan keelokan parasnya. Klop sudah! Namun bagaimana pun keduanya tetap berbeda. Jika Camus adalah peids-noir* tidak begitu halnya dengan Nara. Nara bukan gadis Eropa atau the outsiders yang lahir di tanah jajahan. Ia pribumi asli yang enggan dan muak pada sejarah masa lalu. Sedangkan Camus berdarah Perancis meskipun lahir dan besar di Aljazair, tanah jajahan Perancis. Selain itu bagiku Nara adalah sumber segala keeolokan seorang perempuan.

Aku pandangi Nara. Berkenankah ia menenteramkan gejolak hatiku? Maukah ia ku ketuk hatinya? Tapi tidak ada jawab dari tadi. Ia hanya menyodorkan sebuah kartu nama:

Bishkek Lawyers Office
Nara Rachmidinova
21-57, Kalyk Akiev Str.
Phone: +996 312 650016

Sebutlah Namanya Nara. Dan seorang laki-laki bisa secepat ini sudah jatuh hati padanya. Seorang laki-laki itu hanyalah tamu asing dari Indonesia yang sedang bergundah gulana. Gundah bisa jadi karena luka atau karena jatuh cinta sekejap mata. Laki-laki itu adalah aku Dilara. Lantas bila kau jadi aku mana yang akan kau pilih? Lukakah atau jatuh cinta?

Love, Arqan Kamaruzzaman


*Eulogia: perkataan yang berisi pujian
*Peids-noir: secara harfiah bermakna "Kaki Hitam". Sebutan orang Perancis pada warga kulit putih Perancis yang tinggal dan lahir di Aljazair.


Oleh:
Masnur Marzuki, SH, LLM
Alumnus Melbourne Law School
The University of Melbourne
Staf Edukatif pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia