Wednesday, March 28, 2007

"Ya, aku telah pulang, sayang....."




Kota itu terletak sebelah Barat Daya Melbourne, Australia. Ia begitu mempesona bukan saja kerena ketuaannya namun lebih pada masa "keemasan" sejarah lampaunya. Emas di mana-mana seperti gumpalan awan di musim panas. Dari dulu hingga sekarang, sama saja, tetap mempesona. Ballarat. Namanya diambil dari kosa kata suku Aborigin "Ballaarat" yang bermakna tempat istirahat.


Di kota itulah aku tinggal menghabiskan sisa umurku. Lana, begitu orang memanggilku. Dengan umur 109 tahun, aku tidak lagi bisa menjalankan semua aktifitas harian tanpa bantuan orang lain. Tapi aku lebih suka melakukannya sendirian. Menyiram tanaman, memberi makan kuda dan "Mosh" kucing kesayanganku. Orang mungkin tidak menyangka, janda sepertiku akan bertahan hidup selama itu. Tapi Ballarat adalah tempat istirahat dan aku merasa nyaman hingga aku bisa lebih lama membaca hidup dan bertahan di atasnya.


Aku dulunya isteri dari seorang penambang emas. Suamiku, Reid Lambert dibayar dengan gaji amat rendah, namun kami hidup sejahtera membesarkan Lambert Junior putera kami satu-satunya.

Dua laki-laki itu begitu mencintaiku. Pernah suatu ketika di musim dingin Reid membisikkan sesuatu di telingaku.


"Nanti, saat kematian membekap raga, kami akan tetap hidup di sini. Di hatimu, Lana." Ia letakkan jari telunjukkan di dadaku. Aku tersentuh. "Dan, tahukah kau bahwa kami akan mengunjungimu suatu masa di mana kau benar-benar merindukan kami."


Hidup memang aneh. Ia memiliki epispode-episode tak terbaca dan liar. Suka dan duka adalah dua sisi mata uang. Dan disitulah ia membundar, menggelinding tanpa tahu tempat pemberhentian yang terakhir. Rasanya aku tak akan kan bisa lagi melanjutkan hidup terutama setelah suamiku tewas di tangan sipir dalam penjara politik. Ia ditangkap sebab memberontak menuntut haknya bersama ribuan buruh penambang emas. Hak atas bayaran yang layak dan persamaan hak. Namun aku sadar, proses memanusiakan manusia kadang butuh pengorbanan. Dan aku bangga padanya. Untuk itu aku lebih suka memanggil Reid sebagai pahlawan sebab memang ia lah pahlawanku dan juga anak-anakku. Lebih dari itu, ia hanyalah seorang suami yang baik hati.

Kematian suamiku akhirnya dapat ku terima setelah Lambert tumbuh dari bayi yang lucu menjadi bocah laki-laki yang cekatan. Ia begitu mirip suamiku. Rambutnya yang hitam dan sepasang kaki yang kokoh. Aku pun masih ingat di tahun 1894 saat bencana menyerang daerah pertambangan emas ini. Lambert, yang dalam dirinya aku temukan suamiku, turut menjadi satu dari sekian anak-anak yang meninggal diserang wabah ganas Malaria. Saat itulah aku merasa habis. Hidup hanya menghitung waktu kapan pagi datang dan senja menjelang.


Ketuaanku "dimanfaatkan" dewan kota Ballarat sebagai asset wisata termashur kota ini. Kota ini disulap sedemikian rupa hingga kesan tuanya tetap terjaga. Mungkin karena itu juga kenapa aku diminta tetap tinggal di sini. Rumahku di pugar sebab ia memang terletak persis di tengah pusat pertambangan emas. Setiap hari ragam pengunjung menikmati ketuaan aku dan kota ini. Semua barang-barang peninggalan suamiku seperti magnet yang menyedot peratian banyak orang yang cinta sejarah. Koleksi alat-alat tambang miliknya yang masih tertata rapi di sudut ruangan rumahku itulah alasannya.



Bagi mereka pecinta serial detektif The Adventures of Sherlock Holmes, maka Ballarat mungkin bukan lagi sesuatu yang asing. Sebab si pengarang, Arthur Conan Doyle, pernah memuat satu seri tentang kota ini. Dengan settingan tahun 1888, "The Boscombe Valley Mystery" itulah Ballarat ditampilkan begitu misterius dan penuh lika-liku.
Membaca ceritanya Arthur terus menyeret aku ke masa-masa dulu saat hidup begitu sempurna. Ada suara parau suamiku dan gelak tawa Lambert. Ingin aku kembali ke masa itu. Seonggok cinta yang ku temukan di kota tambang ini. Di sanalah masa "keemasan" hidup yang berlimpah kebahagiaan.


Siang ini, seperti biasa aku lebih suka mengurung diri berlindung di bawah terik panas matahari. Beberapa pengunjung masih terlihat di mana-mana termasuk di dalam rumah. Mereka, produk zaman modern ternyata juga mencintai masa lalu. Aku pun sibuk menjawab pertanyaan seputar kota ini dan sejarahnya. Di kerumanan pengunjung itu, telingaku menangkap sesuatu yang tak asing. Suara parau dan gelak tawa setengah melengking. Aku berlari ke dapur mengejar asal suara itu.


"Lambert?"

"Reid?"

"Kaukah itu?"


Aku setengah berteriak memanggil mereka, tapi tak ada siapa-siapa di dapur. Hanya jejak dua pasang sepatu. Aku menangis. Meratapi kebodohanku. "Bisa jadi ini hanyalah jejak biasa yang sering ditinggalkan pengunjung atua para pelancong." aku berbisik sendiri.
Aku termangu di bibir ruang dapur, menyeka air mata. Dalam termanguku, dari dalam bilik tidur aku mendengar lagi suara parau dan gelak tawa setengah melengking. Kali ini amat jelas dan sangat akrab di telingaku. Aku kembali berlari menuju kamar. Sebagian pengunjung melihat keheranan kepadaku. Di atas tempat tidur aku tak menemukan siapa-siapa. Aku mencari-cari kalau-kalau mereka sembunyi di bawah tidur. Cepat-cepat aku periksa. Kosong. Tak ada siapa-siapa. Aku menyerah. Namun tiba-tiba sudut mataku menangkap cahaya kilau kuning keemasan dari bawah tempat tidur. Aku menangis sejadi-jadinya, saat aku lihat butiran emas membentuk dua nama tertulis rapi.


"Reid and Lambert"


Setengah percaya aku usap-usap kedua mataku.


"Mata tuaku mungkin yang salah" ucapku seketika. Tapi aku tidak keliru. Di bawah nama itu kini malah tersusun satu kalimat.


"Lana, here we're with you".


Aku terkesima, darah ku terkesiap. Aku merasa tenggorokan tersekat. Tercekik. Aku terjatuh. Lalu tak sadarkan diri.


Pada sore harinya. Kami bertiga berjalan beriringan. Menikmati senja yang mulai datang. Orang masih ramai mengikuti sebuah acara pemakaman. Gerimis senja makin pekat di antara orang-orang yang berpakaian serba hitam. Aku melihat peti jenazahku diangkut beramai-ramai petugas museum. Di kerumunan pelayat itu, aku saksikan takzim warga kota akan sejarah dan masa lalu aku dan kota ini.


Lambert menoleh padaku. Tersenyum.


"Selamat berjumpa lagi, sayang." "Mari pulang, hari sudah petang.. Seperti nama kota ini, sudah saatnya kau beristirahat."


Aku kalungkan tanganku dipundaknya.


"Ya, aku telah pulang, sayang....."



=======
Sebagian besar dari cerita ini pernah diterbitkan di Tabloid BUSET di Melbourne.